Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, adalah sebuah bangunan bersejarah yang signifikan. Dahulu, gedung ini menjadi tempat diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pada tahun 1955. Saat ini, bangunan tersebut telah diubah menjadi Museum Konferensi Asia Afrika yang menampilkan koleksi beragam benda dan foto-foto yang berhubungan dengan Konferensi Asia-Afrika, yang menjadi awal dari Gerakan Non-Blok. Museum ini menjadi saksi bisu dari sejarah bangsa yang patut dijaga dan dihargai.
Museum Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka ini telah menjadi simbol penting bagi perjuangan dan semangat pergerakan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menghadapi kolonialisme dan imperialisme pada masa lalu. Konferensi pada tahun 1955 tersebut menjadi tonggak awal bagi terbentuknya Gerakan Non-Blok, yang memainkan peran penting dalam menggiring dunia menuju perdamaian dan keadilan.
Dalam museum ini, pengunjung dapat menjelajahi berbagai ruangan yang menyimpan jejak sejarah. Foto-foto dan artefak dari konferensi yang legendaris itu dipamerkan dengan rapi, menggambarkan momen bersejarah saat para pemimpin bangsa-bangsa Asia dan Afrika berkumpul untuk menghimpun kekuatan dan memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak mereka.
Selain sebagai pusat peringatan sejarah, Museum Konferensi Asia Afrika juga berfungsi sebagai tempat pendidikan. Melalui berbagai pameran interaktif dan pengalaman belajar, para pengunjung, terutama generasi muda, dapat memahami makna perjuangan dan arti penting persatuan serta kemandirian dalam mencapai cita-cita bersama.
Tak hanya dari dalam gedung, tetapi pemandangan sekitar museum juga memukau. Gedung Merdeka, dengan gaya arsitektur klasiknya, berdiri gagah di tengah Kota Bandung. Pengunjung dapat merasakan aura sejarah yang kental sambil menikmati pesona kota yang modern di sekitarnya.
Museum ini juga menjadi tempat inspirasi bagi para peneliti, sejarawan, dan akademisi yang tertarik untuk menggali lebih dalam tentang sejarah pergerakan Asia dan Afrika serta peranannya dalam membentuk dunia yang lebih baik.
Dengan adanya Museum Konferensi Asia Afrika, harapannya adalah semangat perjuangan dan kerjasama antarbangsa akan terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi mendatang untuk mewujudkan masa depan yang lebih adil, berkeadilan, dan damai bagi seluruh umat manusia.
Daftar Isi
Harga Tiket dan Jam Operasional
Gedung Merdeka Bandung menyediakan pengalaman bersejarah yang menarik bagi pengunjung, dan yang menarik adalah bahwa tiket masuk gedung merdeka tidak dikenakan biaya alias gratis. Namun, perlu diingat bahwa pengunjung wajib melakukan reservasi terlebih dahulu melalui email reservasi.mkaa@kemlu.go.id untuk mengatur kunjungan mereka.
Meskipun gratis, namun pengelolaan gedung ini dilakukan dengan standar internasional. Oleh karena itu, pengunjung diharapkan untuk menghargai dan mematuhi peraturan serta ketentuan selama kunjungan.
Jam operasional Gedung Merdeka Bandung adalah sebagai berikut:
- Hari Senin dan Hari Libur Nasional: TUTUP
- Hari Selasa hingga Kamis: 08.00 – 16.00 WIB
- Hari Jumat: 14.00 – 16.00 WIB
- Hari Sabtu dan Minggu: 09.00 – 16.00 WIB
Pastikan untuk menyusun jadwal kunjungan sesuai dengan jam operasional yang tertera di atas dan melakukan reservasi sebelumnya untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan di Gedung Merdeka Bandung.
Sejarah
Gedung Merdeka memiliki sejarah yang kaya dan bermacam-macam fungsi sepanjang waktu. Awalnya, pada tahun 1895, gedung ini dibangun dengan nama Sociëteit Concordia dan digunakan sebagai tempat rekreasi dan sosialisasi oleh komunitas Belanda yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Di sini, mereka mengadakan berbagai kegiatan seperti berdansa, menonton pertunjukan kesenian, dan makan malam.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini mengalami perubahan nama menjadi “Dai Toa Kaman” dan diubah fungsinya menjadi pusat kebudayaan. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, gedung ini menjadi markas pemuda Indonesia yang siap menghadapi tentara Jepang yang enggan menyerahkan kekuasaan.
Setelah pemerintahan Indonesia mulai terbentuk, Gedung Concordia digunakan kembali sebagai gedung pertemuan umum, di mana berbagai pertunjukan kesenian, pesta, dan pertemuan diadakan di sini. Pada tahun 1954, pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk menggunakan Kota Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika dan Gedung Concordia terpilih sebagai tempat konferensi tersebut. Dengan persiapan dan pemugaran yang dilakukan mulai awal tahun 1955, gedung ini diubah dan disesuaikan menjadi tempat konferensi internasional yang megah.
Selanjutnya, setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia, Gedung Merdeka dijadikan Gedung Konstituante. Namun, karena Konstituante dianggap gagal dalam tugasnya, gedung ini kemudian digunakan untuk kegiatan Badan Perancang Nasional dan menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk tahun 1960.
Pada tahun 1965, Gedung Merdeka menjadi tuan rumah Konferensi Islam Asia Afrika. Konferensi ini merupakan pertemuan penting antara negara-negara anggota Gerakan Non-Blok yang mayoritas beragama Islam, yang bertujuan untuk membahas isu-isu politik, ekonomi, dan sosial yang relevan dengan dunia Muslim pada masa itu.
Kemudian, pada tahun 1971, kegiatan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang sebelumnya berpusat di Gedung Merdeka dialihkan ke Jakarta. Perubahan ini mungkin terkait dengan pertimbangan logistik dan organisasi lebih efisien untuk kegiatan MPRS yang mengemban fungsi sebagai lembaga tertinggi dalam negara pada saat itu.
Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, sebagian dari Gedung Merdeka digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait peristiwa tersebut. G30S adalah peristiwa pemberontakan dan pembunuhan terhadap beberapa tokoh militer yang mengakibatkan reaksi keras dari pihak militer dan peristiwa politik penting yang mengubah arah sejarah Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, Gedung Merdeka terus melanjutkan peran dan fungsinya sebagai saksi sejarah penting, khususnya dalam konteks perjuangan dan peristiwa politik di Indonesia. Dari peran sebagai tuan rumah konferensi internasional hingga menjadi tempat penahanan politik, gedung ini telah menyimpan jejak berbagai peristiwa yang berdampak besar bagi negara dan bangsa Indonesia.
Pada tahun 1980, gedung ini dijadikan tempat peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-25, dan Museum Konferensi Asia Afrika diresmikan oleh Presiden Soeharto. Sejak saat itu, gedung ini telah menjadi ikonik sebagai tempat yang menyimpan kenangan bersejarah dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Dengan berbagai peran yang telah diemban selama sejarahnya, nama “Gedung Merdeka” tetap berdiri kokoh dan melambangkan semangat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia.
Arsitektur bangunan
Gedung Merdeka, dirancang pada tahun 1926 oleh dua arsitek Belanda terkenal, yaitu Van Galen Last dan C.P. Wolff Schoemaker, yang pada saat itu menjadi Guru Besar di Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH Bandoeng), yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada tahun 1940, gedung ini diperluas dengan desain karya Albert Aalbers.
Bangunan ini menampilkan gaya arsitektur art deco yang kental. Megahnya gedung ini terlihat dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap. Ruangan-ruangan tempat minum-minum dan bersantai didesain dengan menggunakan kayu cikenhout, menciptakan suasana yang elegan dan mewah. Untuk penerangannya, digunakan lampu-lampu kristal yang tergantung gemerlapan, menambahkan sentuhan keanggunan pada keseluruhan interior gedung.
Gedung Merdeka ini memiliki luas areal mencapai 7.500 m2, memberikan ruang yang luas untuk berbagai kegiatan dan pameran. Bangunan ini bukan hanya menjadi pusat peringatan sejarah penting tetapi juga menjadi karya arsitektur yang memukau, menarik perhatian pengunjung dari berbagai belahan dunia.
Seiring berjalannya waktu, Gedung Merdeka telah bertransformasi dari sebuah tempat pertemuan penting menjadi Museum Konferensi Asia Afrika yang ikonik, menyimpan kenangan berharga dan inspirasi bagi generasi masa kini dan mendatang.
Fungsi Gedung Merdeka
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gedung Societeit Concordia mengalami transformasi yang penuh makna. Gedung ini menjadi saksi perjuangan heroik para pemuda Indonesia yang dengan semangat juang yang membara, memanfaatkan gedung ini sebagai markas strategis untuk menghadapi tentara Jepang yang enggan menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia.
Di tengah euforia kemerdekaan yang menyala-nyala, Gedung Societeit Concordia menjadi tempat berkumpulnya para pemuda pejuang yang bersatu dalam perjuangan. Di balik tembok gedung ini, dipupuk semangat kebersamaan dan patriotisme yang tinggi. Para pemuda bersemangat ini merencanakan strategi, berkoordinasi, dan menyusun taktik untuk menghadapi situasi yang penuh tantangan saat itu.
Gedung ini pun menjadi saksi bisu dari pergolakan batin dan semangat nasionalisme yang membara dalam setiap langkah perjuangan yang diambil oleh para pemuda pejuang Indonesia. Mereka yang berada di Gedung Societeit Concordia berbagi mimpi yang sama, yaitu merebut kemerdekaan dan menegakkan hak-hak bangsa Indonesia.
Gedung ini menjadi lebih dari sekadar bangunan fisik, tetapi menjadi lambang semangat perjuangan, tempat kelahiran ide-ide revolusi, dan manifestasi nyata dari semangat persatuan dan gotong royong di antara pemuda-pemuda bangsa. Di bawah atap Gedung Societeit Concordia, semangat kemerdekaan dipeluk erat, dan tekad tak tergoyahkan menggebu-gebu.
Perjuangan para pemuda di Gedung Societeit Concordia menjadi bagian penting dari sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia. Semangat patriotik yang berkobar di dalam gedung ini menjadi warisan berharga bagi generasi penerus untuk terus menjunjung tinggi nilai-nilai kemerdekaan, persatuan, dan keberanian dalam menjaga tegaknya kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Nama Gedung Merdeka
Pada tanggal 7 April 1955, Presiden Soekarno dengan tegas mengubah nama Gedung Societeit Concordia menjadi Gedung Merdeka, dan Jalan Raya Pos menjadi Jalan Asia Afrika. Perubahan nama ini memiliki makna mendalam yang mencerminkan semangat perjuangan bagi bangsa-bangsa Asia Afrika yang masih menghadapi cengkeraman penjajahan.
Nama “Gedung Merdeka” dipilih untuk menggambarkan semangat dan tekad yang kuat dalam mencapai kemerdekaan. Gedung ini menjadi simbol keberanian dan perjuangan rakyat untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang telah lama mengendalikan dan membatasi kemajuan dan kedaulatan bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika.
Sementara itu, perubahan nama Jalan Raya Pos menjadi Jalan Asia Afrika melambangkan persatuan dan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menghadapi tantangan bersama. Melalui jalan ini, negara-negara Asia dan Afrika saling terhubung dan bersatu dalam semangat perjuangan bersama menuju kemerdekaan dan kemajuan.
Perubahan nama Gedung Merdeka dan Jalan Asia Afrika menjadi langkah simbolis yang memberikan inspirasi bagi bangsa-bangsa di kawasan ini untuk terus berjuang dan bersatu dalam mencapai kemerdekaan, kedaulatan, dan kemakmuran. Nama-nama ini tidak hanya mewakili bangunan fisik, tetapi juga memancarkan semangat perjuangan yang membara di dalam jiwa setiap warga negara Asia dan Afrika.